Kamis, 11 September 2008

THE DAVINCI CODE







Apakah The Da Vinci Code “adalah penyerangan yang paling serius terhadap Kekristenan”?



Sudah menjadi rahasia umum apabila saat ini penyerangan terhadap Kekristenan baik di Amerika, Inggris dan di belahan bumi lainnya mengalami peningkatan yang luar biasa baik di media-media, sekolah, pengadilan dan yang paling sering adalah gereja. Dalam budaya yang secara sistematis berusaha untuk terus mendiskreditkan atau menjelekkan Kristus dan FirmanNya, Dr. Erwin Lutzer seorang pakar teologia yang juga adalah seorang pendeta untuk wilayah Chicago telah melakukan suatu penelitian dan berkesimpulan bahwa: “The Da Vinci Code merupakan penyerangan paling serius terhadap Kekristenan yang pernah saya saksikan.”[1]
Terlepas dari pernyataan yang begitu berani, mari kita lihat lebih jauh tentang novel karya Dan Brown yang begitu terkenal ini, dimana segera filmnya dengan judul yang sama akan segera beredar dan akibat yang mungkin terjadi terhadap gereja dan kebudayaan.
Novel
Bagaimanapun Dan Brown telah mampu membuat kita percaya bahwa “seluruh penjelasan tentang karya seni, arsitektur, dokumen-dokumen dan ritual-ritual rahasia dalam novel ini adalah benar-benar akurat,”
[2] The Da Vinci Code merupakan karya fiksi, lengkap dengan orang baik, penjahat dan peristiwa-peristiwa berbahayanya. Sang tokoh protaganis, Robert Langdon, pakar pemecah kode dari Harvard, seorang yang memiliki karakter yang tulus tapi pasif dengan sedikit keruwetan. Novel ini menyajikan plot-plot yang bisa disebut luar biasa, dengan kalimat-kalimat yang cukup baik, sehingga tidak mudah terlupakan. Sebagai novel fiksi yang “popular” bisa dikatakan sangat menghibur,[3] namun sesuai dengan jenis novelnya belum tentu mampu menjadi novel klasik. Namun The Da Vinci Code telah menjadi sensasi dunia.
Kejadian utama dalam novel ini yang begitu mampu menarik perhatian adalah tentang suatu teori konspirasi yang mengisahkan bahwa
Yesus menikah dengan Maria Magdalena. Setelah kematian Yesus, Maria kabur dengan anak mereka dan menjadi symbol “wanita suci” dari suatu agama pagan kuno.
Teori ini bukan merupakan hal baru bagi Dan Brown; siapapun pelajar yang begitu serius mempelajari tentang sejarah eklesiastikal atau pelajaran tentang gereja pastilah sangat terbiasa dengan tradisi kuno ini (albeit aberrant), yang mana sejak lama telah dinyatakan baik oleh Katolik maupun Protestan adalah merupakan suatu
bidah atau pelecehan.[4] Bagaimanapun, seseorang harus melakukan penggalian (bahkan tidak perlu terlalu dalam) terhadap dasar “sejarah” tentang tradisi ini untuk lebih yakin lagi, bahwa semua ini, hanyalah kisah fiksi belaka.
Michael Baigent, Richard Leigh dan Henry Lincoln
[5] membuat pernyataan yang mengagetkan sehubungan dengan penelitian yang mereka lakukan:
Kita hanya bisa menelusuri dengan melakukan penyaringan menyeluruh terhadap [
Injil] — agar bisa menentukan paragraph mana yang mungkin atau kemungkinan benar … penggalan paragraf yang mungkin dapat membuktikan tentang perkawinan antara Yesus dengan seorang wanita yang disebut sebagai Magdalena. …Dalam rangka mencari hal itu, kami menyadari, bahwa kami harus membaca kata perkata, menjembatani setiap jurang pemisah yang sudah pasti, menilai setiap jeda pada bait-bait syair yang benar. Kami pasti harus berhadapan dengan ketidak telitian, dengan petunjuk-petunjuk, dengan referensi-referensi dan yang terbaik dari semuanya adalah kesalahan semata. [6]
Namun penyerangan yang dilakukan oleh The Da Vinci Code terhadap
Kristus dan Firman-Nya, Alkitab, meluncur lebih dalam dari hanya sekedar sebuah penyerangan teori konspirasi kuno belaka. Dengan menanamkan benih keraguan dalam pikiran pembaca tentang keberadaan Alkitab, baik novel maupun film-nya telah melakukan suatu penyerangan langsung terhadap otoritas Kitab Suci. Menurut sejarawan fiksi Leigh Teabing, salah satu tokoh rekaan Tuan Brown,[7] bahwa Kaisar Romawi Constantine telah memilih diantara injil-injil kuno dan memilih yang paling pas dengan agenda politik yang dijalankannya, termasuk juga menciptakan satu buku yang sekarang ini kita kenal sebagai Alkitab.[8] (Dalam kenyataannya, Kitab Suci kanonik belum diajukan pada konsili gereja sampai dengan kematian Constantine—Dewan Nicene Constantine lebih memperhatikan masalah ketuhanan dan kealamian Kristus.) Pelajaran sejarah Tuan Brown yang “fiksional” merupakan kecerdikan pseudo-academic dimana sejarah itu telah berulangkali ditolak oleh para cendikiawan sejarah dan ahli Alkitab.[9]



Rasio Keemasan

Novel itu juga menyebutkan tentang Leonardo Fibonacci di Pisa, seorang ahli matematika abad ke 13 yang telah menemukan suatu deretan angka dengan ketepatan yang sangat ganjil.
Rangkaian perhitungan Fibonacci ini dimulai dengan bilangan nol, lalu satu, lalu setiap urutan berikutnya merupakan penjumlahan dari kedua angka sebelumnya (0, 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, dst.). Setelah beberapa angka-angka pertama, rasio antara setiap dua angka di dalam urutan itu adalah 1.618 (yakni, angka kedua adalah 1.618 kali lebih besar dari angka sebelumnya).
Apa yang menyebabkan penelitian ini menjadi begitu siknifikan, dan bagaimana hal itu dapat berhubungan dengan kontroversi antara teori evolusi dan penciptaan? Rasio 1.618, dikenal oleh Paham Yunani kuno sebagai Proporsi Ilahi atau Golden Ratio, yang dapat ditemukan secara virtual dimana saja, baik dalam alam, seni, musik dan tata bangunan. Rasio itu bisa muncul dalam bentuk spiral seperti buah cemara, nanas, rumah kerang, tanduk, bunga matahari dan masih banyak lagi; juga rasio diantara setiap jari tangan dan kaki kita. Jumlah daun atau kuntum pada pohon seringkali merupakan angka Fibonacci; ini sebabnya bunga dengan lima kuntum lebih menyenangkan dipandang mata dari yang dengan empat kuntum.
Persepsi kita tentang keindahan seringkali (tanpa sadar) berdasarkan ratio 1.618. Mengetahui hal ini, para komposer dan artis—termasuk Leonardo da Vinci—seringkali menjadikan ratio ini sebagai dasar hasil karya mereka. Sementara banyak dari fenomena yang ditonjolkan oleh Brown meragukan atau serta merta bisa dikatakan salah, * kehadiran dari Divine Proportion, atau phi, dalam alam terdokumentasi dengan jelas. Meskipun karakter fiksi Tuan Brown memberikan suatu gambaran kesimpulan yang salah, sangatlah sukar untuk membayangkan lebih banyak bukti yang meyakinkan bagi sebuah rancangan..**
* Sebagai contoh, penonjolan yang dikemukakan Brown, bahwa ratio jantan terhadap betina dari lebah madu dalam “sarang manapun di dunia ini” adalah phi; Brown, hal. 94.
** “Ketika masyarakat kuno menemukan PHI, mereka yakin sekali bahwa mereka telah membentur dinding dunia, sebab itulah mereka melakukan penyembahan terhadap alam.” Brown, hal. 95.
Idealnya, hanya mereka yang begitu naif yang mau mengambil hal tersebut untuk ditonjolkan sebagai karya fiksi; namun, kebenaran yang menyedihkan adalah banyak orang tidak terlalu mengangap penting Firman Tuhan, dan yang lebih buruk lagi mereka lebih memilih untuk tidak percaya kepada Firman itu.
[10] Bagi mereka, kesalahan-kesalahan yang disajikan dengan pintar dalam Novel The Da Vinci Code adalah kebenaran yang mereka butuhkan agar supaya mereka dapat terus menolak otoritas Alkitab.



Ironisnya, hal ini terdapat dalam konteks yang mana pembaca akan diperkenalkan pertama kali kepada hal yang sangat menarik yaitu tentang “Rangkaian Perhitungan Fibonacci dan Proporsi Ilahi.” Perhatikan sidebar untuk bukti yang mengagumkan yang mendukung terjadinya penciptaan, penciptaan
Penyerangan """""""""""""""""""

Apakah pernyataan Pendeta Lutzer bahwa The Da Vinci Code adalah “penyerangan yang paling serius terhadap Kekristenan abad ini” adalah benar? Dalam suatu pengertian dia telah mendekati kebenaran, dalam hal tentang penyerangan terbesar terhadap Kekristenan dan Yesus Kristus, dan dalam maksud tertentu termasuk didalamnya menyerang Firman-firman yang diucapkan Kristus. Bagaimanapun, dalam peperangan ini, The Da Vinci Code hanyalah sebuah roda gigi kecil yang terdapat dalam sebuah roda raksasa. Berapa banyak para ahli teologia dan pemimpin Kristen menyadari bahwa mereka angkat tangan dalam menghadapi karya fiksi yang terus menerus mencoba untuk menyatakan bahwa ke-66 kitab yang terdapat dalam Alkitab tidak dapat dipercaya khususnya pada kitab
Kejadian? Suatu hari The Da Vinci Code akan berangsur-angsur menghilang pesonanya, sementara generasi Kristen semakin dalam tenggelam dalam ketidakpercayaan. Disinilah perang sesungguhnya telah menerima hasilnya.
Apakah saudara orang percaya atau bukan dan memilih (dengan keleluasaan) untuk membaca The Da Vinci Code atau menonton filmnya, tetap merupakan hal yang penting untuk mengiinformasikan ke seluruh aspek mengenai penyerangan terhadap Firman Allah ini – apapun bentuknya—dan “siap sedia untuk memberikan jawaban” (
1 Petrus 3:15) dengan lemah lembut dan hormat dalam mengatasi berbagai tentangan terhadap injil Yesus Kristus.

Tidak ada komentar: